Trauma Kekerasan Bisa Bertahan Seumur Hidup — Dukungan Kita Menjadi Penyelamat yang Sering Tak Terlihat

- Jurnalis

Minggu, 16 November 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

FA News.ID – Tidak semua luka terlihat. Banyak penyintas kekerasan membawa beban berat yang tidak tampak oleh mata—beban yang sering bertahan jauh lebih lama dibandingkan memar, goresan, atau luka fisik yang akhirnya memudar. Kekerasan, dalam bentuk apa pun, meninggalkan jejak emosional yang dapat mengubah hidup seseorang selamanya. Di sinilah pentingnya peran kita sebagai masyarakat: hadir, mendengar, dan memberi dukungan tanpa syarat.

Luka yang Tak Terlihat: Trauma Psikologis yang Menghantui

Salah satu dampak paling signifikan dari kekerasan adalah trauma psikologis.

Banyak penyintas menggambarkan pengalaman ini seperti hidup dalam ketakutan yang terus berulang. Mereka sulit tidur, kerap merasa cemas tanpa alasan yang jelas, atau bahkan mengalami serangan panik saat mendengar suara atau melihat situasi yang mengingatkan mereka pada kejadian traumatis.

Tidak jarang pula mereka mengalami kesulitan membangun kepercayaan baru—baik pada orang lain maupun pada diri sendiri. Hubungan sosial menjadi tantangan, dan aktivitas sehari-hari yang sebelumnya normal bisa berubah menjadi sesuatu yang menegangkan.

Stigma Sosial: Ketika Penyintas Justru Disalahkan

Baca Juga Artikel Beritanya :  Aceh Rises in Peace: Safe, Comfortable, and Full of Investment Opportunities 2025

Di banyak lingkungan, penyintas kekerasan masih harus menghadapi luka kedua: stigma sosial.

Alih-alih dipeluk dan dilindungi, mereka seringkali dituntut untuk menjelaskan dirinya, mempertahankan ceritanya, bahkan dipertanyakan motifnya. Fenomena victim-blaming—menyalahkan korban atas keadaan yang menimpanya—masih terjadi dan menjadi penghalang besar bagi proses pemulihan.

Pertanyaan seperti “Kenapa tidak melawan?”, “Kenapa baru melapor sekarang?”, atau “Kenapa masih bertahan?” adalah bentuk stigma yang menyakitkan. Kalimat-kalimat itu, meski terlihat kecil, dapat meruntuhkan keberanian penyintas yang baru mulai membuka diri.

Hambatan Hukum yang Melelahkan

Ketika penyintas akhirnya memutuskan untuk mencari keadilan, perjalanan mereka tidak mudah. Proses hukum seringkali panjang, melelahkan, dan penuh dengan pertanyaan yang menyudutkan. Banyak penyintas merasa seolah-olah harus membuktikan bahwa mereka benar-benar disakiti.

Baca Juga Artikel Beritanya :  Media NOA.CO.ID Terverifikasi Administrasi dan Faktual Dewan Pers

Selain tekanan mental, mereka juga dihadapkan pada minimnya pemahaman aparat terhadap penanganan kasus kekerasan berbasis gender dan kekerasan domestik. Kurangnya empati dan pendekatan yang tidak sensitif terhadap trauma dapat memperburuk kondisi mental penyintas.

Ruang Aman yang Hilang: Rumah Tak Lagi Menenangkan

Bagi sebagian orang, rumah adalah tempat paling aman. Namun bagi banyak penyintas kekerasan, rumah justru menjadi tempat yang penuh ketegangan dan ketakutan. Ketika kekerasan terjadi di ruang yang seharusnya melindungi, dampaknya bisa jauh lebih mendalam.

Rasa aman yang seharusnya menjadi fondasi kehidupan sehari-hari hancur. Setiap sudut rumah bisa memicu kenangan buruk. Pada titik inilah, penyintas bukan hanya kehilangan keselamatan fisiknya, tetapi juga kenyamanan psikologis yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup.

Baca Juga Artikel Beritanya :  Mengenal Jasa Surety Bond dan Jasa Garansi Bank: Solusi Perlindungan dan Kepercayaan dalam Bisnis

Menghentikan Siklus Kekerasan: Dimulai dari Kita

Kekerasan tidak akan berhenti hanya dengan hukuman atau undang-undang. Perubahan harus dimulai dari masyarakat—dari cara kita memahami, merespons, dan mendukung penyintas di sekitar kita.

Sikap sederhana dapat menjadi penyelamat:

Percaya pada cerita penyintas.

Keberanian mereka untuk bicara adalah langkah besar.

Jadi pendengar yang hadir sepenuh hati.

Terkadang, mereka tidak butuh solusi—mereka butuh ruang aman.

Hentikan budaya menyalahkan korban.

Tidak ada orang yang pantas menjadi korban kekerasan.

Berani bersuara ketika melihat kekerasan.

Diam berarti membiarkan kekerasan terus terjadi.

Perubahan besar berawal dari langkah kecil. Pertanyaannya: apa langkah kecil yang bisa kamu lakukan hari ini untuk mendukung teman atau keluarga yang mengalami kekerasan?(**)

Editor : Ayah Mul

Berita Terkait

Negara yang Terperosok dalam Jaring Gelap Kekuasaan
Aceh Rises in Peace: Safe, Comfortable, and Full of Investment Opportunities 2025
Aceh Bangkit Damai: Destinasi Aman, Nyaman, dan Penuh Peluang Investasi 2025
Kemenangan yang Tak Boleh Membuat Kita Lupa
Presiden Dituntut Bentuk Tim Reformasi Jajaran Kehakiman
Nasir “Ninja” Desak Pemerintah Segera Legalkan Tambang Rakyat di Geumpang: “Kami Hanya Ingin Hidup Layak”
JARA Ajak Masyarakat Jaga Perdamaian Demi Pembangunan Aceh
Kolaborasi & Persahabatan Warnai Meuseuraya Festival 2025 Bank Indonesia Aceh
Berita ini 7 kali dibaca

Berita Terkait

Minggu, 16 November 2025 - 17:43 WIB

Negara yang Terperosok dalam Jaring Gelap Kekuasaan

Minggu, 16 November 2025 - 12:44 WIB

Trauma Kekerasan Bisa Bertahan Seumur Hidup — Dukungan Kita Menjadi Penyelamat yang Sering Tak Terlihat

Selasa, 11 November 2025 - 20:12 WIB

Aceh Rises in Peace: Safe, Comfortable, and Full of Investment Opportunities 2025

Selasa, 11 November 2025 - 19:47 WIB

Aceh Bangkit Damai: Destinasi Aman, Nyaman, dan Penuh Peluang Investasi 2025

Selasa, 14 Oktober 2025 - 21:16 WIB

Kemenangan yang Tak Boleh Membuat Kita Lupa

Berita Terbaru

Gubernur Aceh, Muzakir Manaf di dampingi forkopimda Aceh menyampaikan Pendapat Status Bencana Aceh, di ruang serba Guna DPR Aceh, Kamis, 27 Nov 2025

Pemerintah Aceh

Mualem Tetapkan Aceh Darurat Bencana

Kamis, 27 Nov 2025 - 16:35 WIB