FA News.ID – Tidak semua luka terlihat. Banyak penyintas kekerasan membawa beban berat yang tidak tampak oleh mata—beban yang sering bertahan jauh lebih lama dibandingkan memar, goresan, atau luka fisik yang akhirnya memudar. Kekerasan, dalam bentuk apa pun, meninggalkan jejak emosional yang dapat mengubah hidup seseorang selamanya. Di sinilah pentingnya peran kita sebagai masyarakat: hadir, mendengar, dan memberi dukungan tanpa syarat.
Luka yang Tak Terlihat: Trauma Psikologis yang Menghantui
Salah satu dampak paling signifikan dari kekerasan adalah trauma psikologis.
Banyak penyintas menggambarkan pengalaman ini seperti hidup dalam ketakutan yang terus berulang. Mereka sulit tidur, kerap merasa cemas tanpa alasan yang jelas, atau bahkan mengalami serangan panik saat mendengar suara atau melihat situasi yang mengingatkan mereka pada kejadian traumatis.
Tidak jarang pula mereka mengalami kesulitan membangun kepercayaan baru—baik pada orang lain maupun pada diri sendiri. Hubungan sosial menjadi tantangan, dan aktivitas sehari-hari yang sebelumnya normal bisa berubah menjadi sesuatu yang menegangkan.
Stigma Sosial: Ketika Penyintas Justru Disalahkan
Di banyak lingkungan, penyintas kekerasan masih harus menghadapi luka kedua: stigma sosial.
Alih-alih dipeluk dan dilindungi, mereka seringkali dituntut untuk menjelaskan dirinya, mempertahankan ceritanya, bahkan dipertanyakan motifnya. Fenomena victim-blaming—menyalahkan korban atas keadaan yang menimpanya—masih terjadi dan menjadi penghalang besar bagi proses pemulihan.
Pertanyaan seperti “Kenapa tidak melawan?”, “Kenapa baru melapor sekarang?”, atau “Kenapa masih bertahan?” adalah bentuk stigma yang menyakitkan. Kalimat-kalimat itu, meski terlihat kecil, dapat meruntuhkan keberanian penyintas yang baru mulai membuka diri.
Hambatan Hukum yang Melelahkan
Ketika penyintas akhirnya memutuskan untuk mencari keadilan, perjalanan mereka tidak mudah. Proses hukum seringkali panjang, melelahkan, dan penuh dengan pertanyaan yang menyudutkan. Banyak penyintas merasa seolah-olah harus membuktikan bahwa mereka benar-benar disakiti.
Selain tekanan mental, mereka juga dihadapkan pada minimnya pemahaman aparat terhadap penanganan kasus kekerasan berbasis gender dan kekerasan domestik. Kurangnya empati dan pendekatan yang tidak sensitif terhadap trauma dapat memperburuk kondisi mental penyintas.
Ruang Aman yang Hilang: Rumah Tak Lagi Menenangkan
Bagi sebagian orang, rumah adalah tempat paling aman. Namun bagi banyak penyintas kekerasan, rumah justru menjadi tempat yang penuh ketegangan dan ketakutan. Ketika kekerasan terjadi di ruang yang seharusnya melindungi, dampaknya bisa jauh lebih mendalam.
Rasa aman yang seharusnya menjadi fondasi kehidupan sehari-hari hancur. Setiap sudut rumah bisa memicu kenangan buruk. Pada titik inilah, penyintas bukan hanya kehilangan keselamatan fisiknya, tetapi juga kenyamanan psikologis yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup.
Menghentikan Siklus Kekerasan: Dimulai dari Kita
Kekerasan tidak akan berhenti hanya dengan hukuman atau undang-undang. Perubahan harus dimulai dari masyarakat—dari cara kita memahami, merespons, dan mendukung penyintas di sekitar kita.
Sikap sederhana dapat menjadi penyelamat:
Percaya pada cerita penyintas.
Keberanian mereka untuk bicara adalah langkah besar.
Jadi pendengar yang hadir sepenuh hati.
Terkadang, mereka tidak butuh solusi—mereka butuh ruang aman.
Hentikan budaya menyalahkan korban.
Tidak ada orang yang pantas menjadi korban kekerasan.
Berani bersuara ketika melihat kekerasan.
Diam berarti membiarkan kekerasan terus terjadi.
Perubahan besar berawal dari langkah kecil. Pertanyaannya: apa langkah kecil yang bisa kamu lakukan hari ini untuk mendukung teman atau keluarga yang mengalami kekerasan?(**)
Editor : Ayah Mul












