Penulis: Hanzirwansyah ST (Bg Iwan)
_Sekretaris Umum Pemenangan Pasangan H Mirwan MS- H Baital Mukadis (MANIS) Pada Pilkada Aceh Selatan 2024 Lalu_
Malam itu, suasana masih terasa hangat di balai kampung. Sorak gembira, pelukan, dan air mata haru berpadu dalam satu momen: kemenangan. Setelah berbulan-bulan bekerja, turun ke dusun dan lembah, melewati fitnah, tekanan, dan kelelahan, akhirnya suara rakyat berbicara. Tapi di balik gegap gempita itu, ada hening yang pelan-pelan datang. Sebuah pertanyaan menggema di hati, apa yang kita lakukan setelah ini?
Kemenangan politik selalu membawa dua ujian berupa euforia dan tanggung jawab. Euforia karena perjuangan telah sampai di garis akhir, dan tanggung jawab karena kemenangan sejati tidak diukur dari suara terbanyak, melainkan dari seberapa jauh kekuasaan digunakan untuk menepati janji kepada rakyat.
Dalam sejarah demokrasi kita, terlalu banyak kemenangan yang berhenti di panggung pesta. Pendukung menghilang setelah tepuk tangan reda, sementara rakyat kembali tenggelam dalam kesunyian harapan. Padahal, seperti diingatkan Bung Hatta, kekuasaan bukanlah hadiah bagi yang menang, melainkan amanah bagi yang dipercaya.
*Dari Pesta Kemenangan ke Ruang Pengabdian*
Dalam teori demokrasi deliberatif yang dikemukakan oleh Jürgen Habermas, kemenangan politik hanyalah awal dari proses dialog panjang antara pemerintah dan rakyat. Demokrasi bukan sekadar tentang menang dan kalah, tetapi tentang partisipasi aktif warga dalam mengawal arah kebijakan publik. Dalam konteks itu, pendukung sejati memiliki tanggung jawab moral untuk tidak meninggalkan panggung setelah kemenangan diraih.
Mereka adalah saksi dan penjaga janji. Mereka adalah jembatan antara harapan rakyat dan kebijakan yang dijalankan. Menjadi pendukung sejati berarti terus memastikan bahwa setiap keputusan pemerintah tetap berpihak pada kepentingan publik, bukan pada kepentingan pribadi atau kelompok kecil.
Kritik yang jujur adalah bentuk cinta yang tertinggi terhadap kepemimpinan yang diperjuangkan bersama. Hannah Arendt, dalam The Human Condition, menulis bahwa kekuasaan hanya hidup dalam ruang publik yang terbuka, ruang yang memungkinkan setiap orang berbicara tanpa takut. Dalam logika ini, diam justru bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi.
Kita sering lupa bahwa loyalitas sejati bukan berarti membenarkan semua keputusan, tetapi berani mengingatkan dengan cara yang bermartabat. Pemimpin membutuhkan teman yang jujur, bukan sekadar pengagum yang menenangkan hati.
Sejarah menunjukkan, banyak kepala daerah tumbang bukan karena lawan politik, tetapi karena diamnya mereka yang dulu bersorak paling keras di hari kemenangan.
Demokrasi membutuhkan pendukung yang dewasa, mereka yang berani berpihak kepada kebenaran, bukan pada siapa yang sedang berkuasa. Mereka yang memahami bahwa perjuangan politik tidak selesai di bilik suara, melainkan harus terus hidup di setiap kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil.
*Soliditas, Integritas, dan Makna Kemenangan*
Kemenangan politik akan kehilangan maknanya bila semangat perjuangan hilang di tengah jalan. Solidaritas tim adalah fondasi utama menjaga marwah kemenangan. Namun soliditas bukan berarti menyeragamkan pikiran atau mematikan kritik. Ia adalah kesatuan dalam cita-cita, bukan keseragaman dalam pandangan.
Soliditas yang berakar pada integritas akan melahirkan daya tahan moral. Ketika godaan kekuasaan datang berupa jabatan, proyek, atau kedekatan dengan pejabat, hanya integritas yang mampu menahan langkah agar tidak tergelincir. Kemenangan yang sejati adalah kemenangan nilai, bukan kemenangan akses.
Filsuf John Rawls mengajarkan bahwa keadilan adalah bentuk tertinggi dari kesetaraan moral manusia. Maka tugas tim pemenangan setelah pilkada bukan hanya memastikan pemimpin bekerja, tetapi memastikan keadilan hadir di tengah masyarakat. Keadilan dalam pelayanan publik, keadilan dalam pembangunan, keadilan dalam kesempatan hidup.
Kita harus belajar dari banyak kisah di negeri ini, ketika kemenangan dijadikan alat balas budi, lahirlah pemerintahan yang kehilangan arah. Ketika kemenangan dimaknai sebagai kesempatan membagi-bagi keuntungan, rakyat menjadi korban kedua setelah pemilu.
Padahal rakyat memilih bukan untuk membentuk kerajaan baru, tetapi untuk memperjuangkan harapan lama yakni kejujuran, kesejahteraan, dan pemerintahan yang bisa mereka percayai.
Amartya Sen menyebut kebebasan politik tanpa partisipasi rakyat sebagai empty freedom atau kebebasan kosong. Artinya, kemenangan politik tanpa partisipasi dan kontrol publik hanyalah panggung hampa. Demokrasi hanya hidup bila rakyat ikut menjadi pengawas, bukan penonton.
Tim pemenangan dan pendukung sejati memiliki peran strategis dalam menjaga agar pemerintahan tetap berada di jalur reformasi moral dan pelayanan publik. Mereka adalah “masyarakat pengingat” (moral community) yang terus menghidupkan nurani di sekitar kekuasaan.
Di tingkat lokal, partisipasi itu bisa diwujudkan dengan hal-hal sederhana tapi berdampak besar: mengawal janji kampanye, mendorong transparansi anggaran daerah, menyuarakan kepentingan warga miskin, atau sekadar menjadi penyambung suara rakyat kecil yang tak mampu mengetuk pintu kekuasaan sendiri.
Demokrasi lokal yang sehat hanya lahir jika ada komunikasi dua arah antara pemimpin dan rakyat, antara pemerintah dan pendukungnya. Hubungan yang bukan dibangun atas dasar balas jasa, tetapi atas dasar kesetiaan terhadap nilai-nilai perjuangan bersama.
Soliditas sejati bukan tentang siapa yang paling dekat dengan kekuasaan, tetapi siapa yang paling teguh menjaga nilai. Ia tumbuh dari kesadaran bahwa kita berjuang bukan untuk satu masa jabatan, melainkan untuk masa depan masyarakat yang lebih adil dan bermartabat.
Kemenangan memang milik mereka yang terpilih, tapi maknanya hanya akan hidup bila dirasakan oleh rakyat.
Kita harus menjaga agar kemenangan ini tidak berubah menjadi jarak antara yang berkuasa dan yang memperjuangkan.
*Menang Bersama Rakyat*
Kita pernah berjalan bersama melintasi hujan, panas, dan tekanan. Kita pernah berjanji bahwa perjuangan ini bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk rakyat. Kini saatnya janji itu ditepati. Kita tidak boleh berhenti setelah sorak kemenangan. Kita harus tetap menjadi bagian dari denyut pemerintahan yang kita lahirkan, menjadi cahaya kecil di sekitar kekuasaan agar ia tidak kehilangan arah.
Kemenangan sejati bukan tentang siapa yang duduk di kursi tinggi, tetapi tentang siapa yang tetap berdiri bersama rakyat setelah pesta usai. Kemenangan sejati bukan tentang menempati jabatan, tetapi tentang menepati janji.
Maka marilah kita tetap solid, tetap jujur, dan tetap berpihak kepada cita-cita awal perjuangan: menghadirkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan adil bagi semua. Sebab kemenangan politik hanyalah selembar kertas, tetapi kemenangan moral adalah warisan abadi. Dan hanya mereka yang tidak lupa setelah menang yang benar-benar pantas disebut sebagai pejuang sejati.
Editor : Ayah Mul












