Oleh Rafly Kande
Sejak Mualem dipercaya sebagai Gubernur Aceh, rakyat senantiasa hadir bukan hanya sebagai penonton, melainkan sebagai pengawal dan penegur setia. Setiap kritik, saran, bahkan tudingan yang dilontarkan, sesungguhnya adalah tanda kasih sayang rakyat yang tulus. Itu bukan kebencian, melainkan bentuk kepedulian agar kebijakan tetap lurus, pembangunan berjalan adil, dan sumber daya alam Aceh dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran bersama.
Penertiban tambang ilegal menjadi cermin nyata bagaimana mata rakyat terus terbuka. Mereka tidak ingin tanah leluhurnya rusak, sungai tercemar, dan hutan hilang hanya karena segelintir kepentingan. Kritik yang kadang terdengar keras, lahir dari kegelisahan yang dalam—rakyat ingin memastikan keadilan dan keberlanjutan, demi masa depan generasi Aceh.
Namun, Mualem harus senantiasa waspada. Jangan sampai terlena dengan bisikan manis yang penuh pujian semu. Sebab, pujian tanpa kritik ibarat racun halus: menenangkan sesaat, tapi menyesatkan dalam perjalanan. Pemimpin yang bijak akan selalu membedakan antara dukungan tulus dan kemanisan palsu, agar langkahnya tidak terjerumus dalam jebakan kepentingan sempit.
Kasih sayang rakyat Aceh kepada Mualem adalah kasih sayang yang aktif, kritis, dan bertanggung jawab. Mereka menegur bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk mengangkat; mereka mengingatkan bukan untuk melemahkan, tetapi untuk meneguhkan.
Apabila Mualem membuka telinga selebar-lebarnya, mendengar dengan hati, dan menyesuaikan langkah dengan suara rakyat, maka insya Allah misi kepemimpinannya akan tertuntaskan: menegakkan keadilan, menghapus ketimpangan, dan membawa Aceh menuju kesejahteraan yang berkelanjutan.
Inilah kasih sayang rakyat yang sejati—kasih sayang yang lahir dari cinta pada tanah air, pada pemimpin, dan pada masa depan Aceh yang ingin mereka lihat bersinar dalam ridha Allah.
Editor : Redaksi