Oleh Rafly Kande
Dalam beberapa tahun terakhir, wacana Qanun Pertambangan Rakyat mengemuka penuh janji. Banyak yang larut dalam euforia, seolah hadirnya qanun ini otomatis menyelesaikan persoalan tambang. Sebelum terbawa arus, kita perlu bertanya: apa sebenarnya yang diperjuangkan? Apakah sekadar legalitas di atas kertas, atau sistem pengelolaan yang kokoh, berkelanjutan, dan benar-benar berpihak pada rakyat?
Ilusi Legalitas Tanpa Fondasi
Legalitas tanpa kapasitas hanyalah ilusi. Kita bicara tambang rakyat seolah cukup dengan izin, padahal izin tanpa sistem adalah jebakan. Siapa yang mengelola? Siapa yang mengawasi? Apakah sudah ada kurikulum lokal untuk mendidik teknisi, insinyur, manajer lingkungan, dan pengelola keuangan tambang? Jawabannya belum.
Lebih pahit lagi, “tambang rakyat” kerap hanya menjadi kedok. Di balik koperasi atau BUMG, sering bersembunyi cukong yang memanfaatkan nama rakyat demi keuntungan pribadi. Rakyat dipinjam suaranya, tetapi hasilnya dikuasai segelintir orang. Tambang rakyat pun terjebak menjadi alat transaksi politik, bukan instrumen pembangunan.
Antara Berkah dan Luka
Bukan tambangnya yang salah, tetapi tata kelolanya. Data menunjukkan sektor tambang Aceh periode 2020–2024 menyumbang Rp1,58 triliun PNBP. Kabupaten penghasil seperti Aceh Barat menerima royalti hingga Rp93,4 miliar dari satu perusahaan saja. Angka itu tidak kecil. Namun pertanyaan mendasar tetap menggantung: ke mana uang ini mengalir? Mengapa rakyat di sekitar tambang tetap tak sejahtera?
Jawabannya getir: negara dan daerah gagal mendistribusikan manfaat. Dana publik tenggelam dalam program yang tidak menyentuh kebutuhan dasar. Hasil bumi ada, kesejahteraan tak kunjung hadir.
Perdebatan pro atau anti tambang jadi semu. Yang dibutuhkan adalah gerakan menuntut tata kelola yang benar, transparan, dan berpihak. Rakyat berhak menolak tambang yang merusak, tetapi mereka juga berhak menikmati manfaat kekayaan tanah mereka.
Celengan Bernilai, Tapi Tak Abadi
Kekayaan sumber daya alam ibarat celengan: bernilai besar, tetapi tak abadi. Cepat atau lambat, isi celengan itu akan habis. Yang tersisa bisa berupa tanah rusak dan masyarakat miskin—atau, bila dikelola dengan benar, fondasi kokoh bagi generasi mendatang.
Celengan itu seharusnya menjadi modal membangun manusia: pendidikan, kesehatan, teknologi, dan ekonomi rakyat. Namun selama tujuh dekade, pola yang terjadi justru sebaliknya. Proyek besar dijalankan tanpa partisipasi rakyat. Keputusan penting diambil jauh dari daerah penghasil. Kekayaan bumi mengalir keluar, meninggalkan daerah dalam keterbelakangan.
Jalan Perubahan
Harapan masih ada. Dengan keberanian, arah bisa diubah:
Membuka informasi dan pendapatan SDA secara transparan.
Melibatkan rakyat dalam perencanaan dan pengawasan.
Mengarahkan hasil tambang untuk kebutuhan dasar dan program berkelanjutan.
Membangun generasi baru yang menguasai teknologi, manajemen, dan etika lingkungan.
Pertambangan bisa menjadi berkah atau luka—semua tergantung tata kelola. Qanun tambang rakyat tak boleh lahir dari mimpi kosong, tetapi dari fondasi kapasitas yang nyata. Celengan sumber daya harus dipakai untuk membangun manusia, bukan sekadar mempertebal ilusi politik.
Jika kita gagal, tambang akan meninggalkan kerusakan dan kekecewaan. Jika kita berani berubah, tambang bisa menjadi jalan menuju masa depan Aceh yang adil, berkelanjutan, dan bermartabat.
Editor : Redaksi















