Istana yang Mati Rasa: Ketika Negara Tidak Mendengar Jeritan Rakyatnya

- Jurnalis

Rabu, 10 Desember 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

  • Penulis : Sri Radjasa (Pemerhati Intelijen)

OPINI – Di tengah banjir besar yang meluluhlantakkan Sumatera dan Aceh, dengan korban jiwa yang begitu besar, pemadaman listrik berkepanjangan, dan kerusakan fisik yang melebihi sebagian wilayah terdampak tsunami 2004, muncul satu pertanyaan yang lebih menakutkan daripada gelombang bencana itu sendiri, mengapa Presiden Prabowo terlambat mendapat informasi utuh mengenai skala bencana? Mengapa aliran informasi yang seharusnya jujur, langsung, dan akurat justru tersendat sebelum sampai ke pusat komando negara?

Pernyataan pejabat BNPB yang menyepelekan situasi, menyebut bahwa kondisi “tidak besar, hanya media sosial yang membesar-besarkan”, adalah preseden buruk bagi tata kelola kebencanaan nasional. Dalam tradisi negara modern, lembaga manajemen bencana adalah garda terdepan dalam memberi Presiden bahan pengambilan keputusan. Jika lembaga ini keliru membaca eskalasi, maka negara bukan hanya gagal merespons, tetapi juga gagal menghormati rasa aman warganya.

Lebih buruk lagi, kesalahan asesmen ini bukan peristiwa pertama. Pada kerusuhan Agustus 2025, publik menyaksikan Presiden tampak terlambat merespons kondisi yang berubah dari unjuk rasa menjadi potensi kerusuhan nasional. Belakangan diketahui informasi di lapangan tidak segera sampai ke meja Presiden. Dalam studi intelijen, keterlambatan semacam ini adalah indikasi awal bahwa negara sedang terjangkit “informational decay”, yaitu pelapukan aliran informasi yang membuat pemimpin bekerja dalam ruang hampa.

Kini, pola itu berulang. Presiden kembali menerima laporan yang tidak akurat mengenai pemulihan listrik Aceh. Seorang menteri mengklaim 93 persen telah pulih, BNPB menyebut 100 persen “clear”, namun fakta lapangan menunjukkan ribuan warga masih hidup dalam gelap, akses komunikasi terputus, rumah sakit memakai genset seadanya, dan pemerintah daerah kesulitan melakukan koordinasi.

Ketika laporan-laporan resmi tidak sinkron dengan kenyataan, maka masalahnya bukan lagi sekadar miskomunikasi. Ini adalah indikasi cacat struktural dalam alur komunikasi negara, cacat yang dapat membuat seorang Presiden tampak jauh dari rakyat yang dipimpinnya. Dalam bahasa akademik, kondisi ini disebut “asimetri informasi vertikal”, ketika data dari lapisan bawah tidak pernah tiba dalam bentuk asli ke lapisan atas, melainkan sudah disaring, dipoles, diklasifikasi, dan sering kali disesuaikan dengan kepentingan kelompok tertentu.

Jika Presiden menerima realitas yang berbeda dari realitas rakyat, maka negara sesungguhnya sedang berjalan dengan mata tertutup. Dan yang menjadi korban adalah masyarakat di garis depan bencana.

Baca Juga Artikel Beritanya :  Negara di Persimpangan: "Saat Presiden Takut Bertindak, Rakyat yang Tersandung”

*Anatomi Hambatan Informasi di Lingkar Istana*

Banyak pihak bertanya-tanya, bagaimana mungkin di era teknologi, sistem komando nasional masih tersendat oleh hambatan komunikasi internal? Dalam analisis intelijen politik, hambatan ini bisa muncul dari tiga lapisan sekaligus, yakni pintu penyaringan informasi, kultur komunikasi, dan dinamika politik pasca transisi kekuasaan.

Pertama, posisi Sekretaris Kabinet sebagai pintu penyaring seluruh dokumen, laporan, serta memo strategis memang menjadikannya aktor kunci dalam menentukan apa yang masuk ke pendengaran Presiden. Ketika mekanisme kontrol terlalu terpusat pada satu figur, risiko distorsi meningkat drastis. Dalam beberapa kasus, seleksi informasi dilakukan bukan berdasarkan urgensi publik, tetapi berdasarkan penilaian subjektif terhadap apakah Presiden akan bereaksi keras atau tidak. Sistem seperti ini tidak hanya melahirkan blindspot, tetapi juga menciptakan lingkaran kebijakan yang rapuh karena berdiri di atas informasi yang prematur.

Kedua, kultur komunikasi di sekitar Presiden tampak masih terjebak dalam pola satu arah. Banyak pejabat yang merasa perlu memberikan laporan-laporan “aman”, bukan laporan yang jujur. Fenomena ini dikenal sebagai bureaucratic filtering, yaitu kecenderungan birokrasi menyampaikan informasi yang tidak menimbulkan risiko politik bagi diri mereka. Pada akhirnya, Presiden dikepung oleh laporan yang enak didengar, bukan laporan yang perlu didengar.

Baca Juga Artikel Beritanya :  Kegilaan yang Menyelamatkan Bangsa

Ketiga, dinamika pasca perpindahan kekuasaan dari pemerintahan sebelumnya tak bisa diabaikan. Banyak institusi strategis masih dipimpin figur warisan era lama. Dalam analisis politik intelijen, kondisi seperti ini rawan menimbulkan “obstruction from within”, yaitu hambatan komunikasi yang sengaja atau tidak sengaja muncul dari aktor yang punya kepentingan mempertahankan pengaruh. Ketika dua pusat kekuasaan saling bersinggungan, informasi adalah senjata pertama yang kerap diputarbalikkan. Maka tak heran bila ada kesan bahwa di Istana sedang berlangsung tarik-menarik pengaruh yang membuat Presiden menerima informasi yang tidak utuh atau bahkan menyesatkan.

Jika kondisi ini dibiarkan, maka risiko yang muncul bukan hanya kerusakan reputasi Presiden, tetapi juga kerusakan sistem kontrol negara. Presiden akan tampak seperti pemimpin yang mengambil keputusan sepihak, padahal ia sebenarnya bekerja dengan data yang keliru.

Dalam konteks Aceh dan Sumatera, kegagalan sistem ini terasa paling menyakitkan. Warga berhari-hari hidup tanpa listrik, tanpa komunikasi, tanpa kepastian. Namun laporan ke Presiden berjalan seolah semua baik-baik saja. Ini bukan sekadar kegagalan teknis. Ini adalah kegagalan moral negara dalam memastikan suara rakyatnya sampai ke telinga tertinggi republik. Dan ketika negara gagal mendengar, maka rakyat terpaksa berteriak lewat jalur lain berupa media sosial, warga net, video amatir, sekadar agar Presiden menyadari apa yang sedang terjadi di tanah sendiri.

Di tengah situasi seperti itu, wajar muncul kesan bahwa Presiden Prabowo menjadi “presiden yang kesepian”. Bukan kesepian dalam arti emosional, tetapi kesepian dalam arti politik, yaitu dilingkari orang-orang yang memfilter realitas, sehingga ia seperti berjalan sendirian di tengah kabut informasi yang padat.

Baca Juga Artikel Beritanya :  Setahun Prabowo: Antara Bayang Legacy dan Bayangan Kekuasaan

Jika negara ingin memutus mata rantai keterlambatan informasi ini, maka Presiden harus mengambil langkah yang tidak setengah hati. Reformasi komunikasi internal istana harus menjadi agenda segera. Dibutuhkan radical break, pembongkaran total struktur penyaringan informasi yang membuat negara lamban merespons bencana. Presiden memerlukan pembantu yang loyal pada negara, bukan loyal pada jejaring politik atau figur-figur lama yang masih bercokol di institusi strategis. Setiap hambatan komunikasi yang dibuat oleh lingkaran internal istana harus dihapus, bukan dipoles.

Lebih dari itu, Presiden perlu membangun kembali ekosistem informasi berbasis data riil, bukan laporan kosmetik. Pemerintahan tidak akan pernah berjalan baik jika pemimpinnya tidak mendengar apa yang terjadi di lapangan. Dan rakyat tidak akan pernah percaya pada negara yang tuli terhadap jeritan mereka.

Dalam tragedi bencana, negara semestinya hadir bukan hanya dengan bantuan, tetapi juga dengan kepekaan. Dan kepekaan hanya mungkin muncul jika telinga negara berfungsi. Ketika telinga itu mati rasa, maka seluruh tubuh politik republik ini berada dalam bahaya.

Jika Istana tidak segera sembuh dari “virus budeg” ini, maka krisis kepercayaan akan tumbuh, dan jarak antara negara dan rakyat akan semakin lebar. Di tengah ancaman bencana yang semakin sering melanda Indonesia, kehilangan kemampuan untuk mendengar adalah bencana yang jauh lebih besar daripada banjir, longsor, atau kerusuhan. Sebab bangsa yang pemimpinnya tidak mendengar, adalah bangsa yang berjalan menuju gelap.

Editor : Ayah Mul

Berita Terkait

Ultimatum Diabaikan, Alat Berat Bertahan: Banjir Besar Aceh 2025 Disebut “Tsunami dari Daratan”
Adli Abdullah: Negara Harus Hadir di Penyeberangan Teupin Mane
Ketika Nyawa Tak Lagi Jadi Prioritas: Aceh Menantikan Pintu Kemanusiaan Dibuka”
Setahun Pemerintahan Prabowo: Arah Perubahan yang Masih Samar
Durian Ternyata Bisa Jadi Terapi: Penelitian Ungkap Manfaat Kesehatan hingga Antikanker
Prestasi Nasional Tak Diindahkan, PAUD Jayawinata dan Krisis Kepedulian Pemko Tangerang
Ketika Reformasi Dipeluk Sang Tersangka: Potret Retaknya Akal Sehat di Republik Ini
Dilema Kekuasaan Setengah Hati, Derita Rakyat Setengah Mati
Berita ini 34 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 13 Desember 2025 - 21:50 WIB

Ultimatum Diabaikan, Alat Berat Bertahan: Banjir Besar Aceh 2025 Disebut “Tsunami dari Daratan”

Jumat, 12 Desember 2025 - 09:23 WIB

Adli Abdullah: Negara Harus Hadir di Penyeberangan Teupin Mane

Rabu, 10 Desember 2025 - 17:40 WIB

Istana yang Mati Rasa: Ketika Negara Tidak Mendengar Jeritan Rakyatnya

Minggu, 7 Desember 2025 - 21:24 WIB

Ketika Nyawa Tak Lagi Jadi Prioritas: Aceh Menantikan Pintu Kemanusiaan Dibuka”

Sabtu, 6 Desember 2025 - 21:35 WIB

Setahun Pemerintahan Prabowo: Arah Perubahan yang Masih Samar

Berita Terbaru