Banda Aceh — Kisah kemanusiaan datang dari tengah bencana banjir yang melanda Kabupaten Aceh Tamiang. Muhammad Muchsin, seorang narapidana yang menjalani hukuman di Lapas Kajhu Banda Aceh, terpaksa meninggalkan balik jeruji besi demi satu tujuan mulia: mencari istri dan anaknya yang menjadi penyintas banjir bandang.
Muchsin mendapatkan izin keluar dari sel setelah pihak lapas tersentuh oleh kondisi darurat yang dialaminya, serta adanya solidaritas dari rekan-rekan satu sel. Dengan bekal uang seadanya sebesar Rp18 ribu yang dikumpulkan bersama, Muchsin memulai perjalanan penuh ketidakpastian menuju Aceh Tamiang, daerah yang dilanda banjir parah.
Perjalanan itu jauh dari kata mudah. Banjir yang masih menggenangi sejumlah ruas jalan memaksanya berjalan kaki menerobos genangan air. Rasa lapar menjadi teman setia, sementara kelelahan membuatnya harus bermalam di masjid-masjid sepanjang perjalanan. Tanpa kepastian, Muchsin terus melangkah, digerakkan oleh harapan untuk memastikan keselamatan keluarganya.
“Yang penting saya bisa bertemu mereka. Saya hanya ingin tahu anak dan istri saya selamat,” tutur Muchsin dengan suara lirih kepada warga yang ditemuinya di perjalanan.
Muchsin mengaku sejak banjir melanda Aceh Tamiang, ia kehilangan kabar tentang kondisi keluarganya. Akses komunikasi terputus, sementara berita banjir yang terus berdatangan justru menambah kecemasan. Di balik statusnya sebagai narapidana, Muchsin tetap seorang ayah dan suami yang diliputi rasa takut kehilangan orang-orang tercinta.
Izin keluar yang diberikan kepadanya bukan tanpa pertimbangan. Pihak lapas disebut melihat kondisi psikologis Muchsin yang tertekan, serta mempertimbangkan aspek kemanusiaan di tengah situasi bencana. Dukungan dari sesama warga binaan menjadi bukti bahwa solidaritas dan empati tetap tumbuh, bahkan di balik tembok penjara.
Kisah Muchsin mencerminkan sisi lain dari bencana alam: bukan hanya kerusakan fisik, tetapi juga pergulatan batin manusia yang terpisah dari keluarga. Di tengah keterbatasan, ia berjuang dengan cara paling sederhana—berjalan, bertahan, dan berharap.
Kini, Muchsin hanya menggantungkan satu doa: dapat segera bertemu dengan istri dan anaknya yang disebut-sebut selamat dari bencana. Baginya, pertemuan itu akan menjadi obat dari rasa lelah, lapar, dan cemas yang ia lalui sepanjang perjalanan.
Di tengah hiruk-pikuk bantuan dan pemulihan pascabencana, kisah Muchsin menjadi pengingat bahwa kemanusiaan tidak mengenal status, seragam, atau tembok pembatas. Ketika bencana datang, yang tersisa hanyalah naluri paling dasar manusia: cinta pada keluarga.(**)
Editor : Ayah Mul












