Ultimatum Diabaikan, Alat Berat Bertahan: Banjir Besar Aceh 2025 Disebut “Tsunami dari Daratan”

- Jurnalis

Sabtu, 13 Desember 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Banda Aceh — Ultimatum sudah disuarakan: alat berat diminta keluar dari kawasan hutan Aceh. Namun peringatan itu seolah menguap di tengah kepentingan dan pembiaran.

Akhir November 2025, Aceh kembali dilanda bencana besar. Hujan deras yang turun berhari-hari membuat sungai-sungai meluap, merendam permukiman, memutus akses jalan, dan memaksa ribuan warga mengungsi. Sejumlah daerah pun menetapkan status darurat bencana.

Bagi sebagian warga, peristiwa ini bukan sekadar banjir musiman. Mereka menyebutnya sebagai “tsunami kedua dari daratan” — bencana yang datang perlahan, namun menghancurkan dengan dampak yang tak kalah mematikan.

Pertanyaan pun mengemuka: apakah ini murni bencana alam, atau akumulasi kerusakan lingkungan yang dibiarkan terlalu lama?

Ultimatum yang Tak Digubris

Jauh sebelum banjir besar terjadi, peringatan telah dilontarkan. Aktivis lingkungan, tokoh masyarakat, hingga sejumlah elemen sipil mendesak penghentian aktivitas alat berat di kawasan hutan Aceh. Ultimatum itu menuntut dihentikannya pembukaan hutan, penggalian, dan aktivitas lain yang berpotensi merusak daerah tangkapan air.

Baca Juga Artikel Beritanya :  Pemerintah Aceh Pastikan Bantuan Menembus Kawasan Terisolir, Pendataan Kerusakan Dimulai

Namun di lapangan, peringatan tersebut tak sepenuhnya diindahkan. Alat berat dilaporkan masih beroperasi di sejumlah titik. Hutan yang selama ini menjadi benteng alami penahan air perlahan kehilangan fungsinya.

Ketika hujan ekstrem datang, alam seolah menagih seluruh kelalaian itu.

Hutan Menyusut, Daya Dukung Lingkungan Runtuh

Aceh dikenal memiliki kawasan hutan yang luas dan kaya, termasuk bagian penting dari Ekosistem Leuser. Kawasan ini berperan vital sebagai penyerap air hujan, pengendali aliran sungai, sekaligus pelindung alami dari banjir dan longsor.

Namun pembukaan lahan, perambahan hutan, serta aktivitas alat berat yang tidak terkendali menyebabkan daya dukung lingkungan menurun drastis. Tanah kehilangan kemampuan menyerap air, sungai menjadi dangkal, dan limpasan hujan tak lagi tertahan.

Baca Juga Artikel Beritanya :  Mafia Medan Gerogoti Hutan Aceh, Laskar Panglima Nanggroe Siap Lawan

Akibatnya, hujan berintensitas tinggi dengan cepat berubah menjadi banjir bandang.

Banjir Besar dan Luka Sosial

Banjir akhir November 2025 meluas ke berbagai wilayah. Rumah warga terendam, sawah dan kebun rusak, akses transportasi terputus, dan aktivitas ekonomi lumpuh. Di sejumlah daerah, air datang begitu cepat hingga warga nyaris tak sempat menyelamatkan harta benda.

Trauma pun tertinggal. Anak-anak kehilangan rasa aman, orang tua dihantui kekhawatiran akan bencana susulan, sementara petani dan nelayan menanggung kerugian besar.

Di tengah penderitaan itu, kemarahan publik menguat. Warga mempertanyakan mengapa peringatan soal hutan tak ditindak tegas dan mengapa alat berat masih dibiarkan beroperasi hingga akhirnya bencana terjadi.

“Tsunami dari Daratan”

Istilah “tsunami kedua” bukan sekadar metafora. Bagi masyarakat Aceh yang pernah mengalami tsunami 2004, banjir besar ini membangkitkan trauma kolektif. Bedanya, jika tsunami datang dari laut, maka bencana kali ini lahir dari daratan — dari hutan yang rusak dan tata kelola lingkungan yang gagal.

Baca Juga Artikel Beritanya :  Update Bencana Aceh: 173 Orang Meninggal, 204 Hilang

Banjir ini menjadi pengingat pahit: kerusakan alam tidak pernah tanpa konsekuensi. Apa yang diambil dari hutan, pada akhirnya kembali dalam bentuk bencana.

Alarm Keras untuk Aceh

Banjir besar Aceh 2025 seharusnya menjadi alarm keras. Ultimatum yang diabaikan kini berubah menjadi kenyataan yang menyakitkan. Penanganan darurat memang penting, namun tanpa evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola hutan dan penegakan hukum lingkungan, bencana serupa hanya tinggal menunggu waktu.

Aceh kini berada di persimpangan: melindungi hutan sebagai warisan dan pelindung kehidupan, atau membiarkan eksploitasi berlanjut hingga bencana menjadi rutinitas tahunan. (**)

Editor : Ayah Mul

Berita Terkait

Adli Abdullah: Negara Harus Hadir di Penyeberangan Teupin Mane
Istana yang Mati Rasa: Ketika Negara Tidak Mendengar Jeritan Rakyatnya
Ketika Nyawa Tak Lagi Jadi Prioritas: Aceh Menantikan Pintu Kemanusiaan Dibuka”
Setahun Pemerintahan Prabowo: Arah Perubahan yang Masih Samar
Durian Ternyata Bisa Jadi Terapi: Penelitian Ungkap Manfaat Kesehatan hingga Antikanker
Prestasi Nasional Tak Diindahkan, PAUD Jayawinata dan Krisis Kepedulian Pemko Tangerang
Ketika Reformasi Dipeluk Sang Tersangka: Potret Retaknya Akal Sehat di Republik Ini
Dilema Kekuasaan Setengah Hati, Derita Rakyat Setengah Mati
Berita ini 18 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 13 Desember 2025 - 21:50 WIB

Ultimatum Diabaikan, Alat Berat Bertahan: Banjir Besar Aceh 2025 Disebut “Tsunami dari Daratan”

Jumat, 12 Desember 2025 - 09:23 WIB

Adli Abdullah: Negara Harus Hadir di Penyeberangan Teupin Mane

Rabu, 10 Desember 2025 - 17:40 WIB

Istana yang Mati Rasa: Ketika Negara Tidak Mendengar Jeritan Rakyatnya

Minggu, 7 Desember 2025 - 21:24 WIB

Ketika Nyawa Tak Lagi Jadi Prioritas: Aceh Menantikan Pintu Kemanusiaan Dibuka”

Sabtu, 6 Desember 2025 - 21:35 WIB

Setahun Pemerintahan Prabowo: Arah Perubahan yang Masih Samar

Berita Terbaru