Banda Aceh — Ultimatum sudah disuarakan: alat berat diminta keluar dari kawasan hutan Aceh. Namun peringatan itu seolah menguap di tengah kepentingan dan pembiaran.
Akhir November 2025, Aceh kembali dilanda bencana besar. Hujan deras yang turun berhari-hari membuat sungai-sungai meluap, merendam permukiman, memutus akses jalan, dan memaksa ribuan warga mengungsi. Sejumlah daerah pun menetapkan status darurat bencana.
Bagi sebagian warga, peristiwa ini bukan sekadar banjir musiman. Mereka menyebutnya sebagai “tsunami kedua dari daratan” — bencana yang datang perlahan, namun menghancurkan dengan dampak yang tak kalah mematikan.
Pertanyaan pun mengemuka: apakah ini murni bencana alam, atau akumulasi kerusakan lingkungan yang dibiarkan terlalu lama?
Ultimatum yang Tak Digubris
Jauh sebelum banjir besar terjadi, peringatan telah dilontarkan. Aktivis lingkungan, tokoh masyarakat, hingga sejumlah elemen sipil mendesak penghentian aktivitas alat berat di kawasan hutan Aceh. Ultimatum itu menuntut dihentikannya pembukaan hutan, penggalian, dan aktivitas lain yang berpotensi merusak daerah tangkapan air.
Namun di lapangan, peringatan tersebut tak sepenuhnya diindahkan. Alat berat dilaporkan masih beroperasi di sejumlah titik. Hutan yang selama ini menjadi benteng alami penahan air perlahan kehilangan fungsinya.
Ketika hujan ekstrem datang, alam seolah menagih seluruh kelalaian itu.
Hutan Menyusut, Daya Dukung Lingkungan Runtuh
Aceh dikenal memiliki kawasan hutan yang luas dan kaya, termasuk bagian penting dari Ekosistem Leuser. Kawasan ini berperan vital sebagai penyerap air hujan, pengendali aliran sungai, sekaligus pelindung alami dari banjir dan longsor.
Namun pembukaan lahan, perambahan hutan, serta aktivitas alat berat yang tidak terkendali menyebabkan daya dukung lingkungan menurun drastis. Tanah kehilangan kemampuan menyerap air, sungai menjadi dangkal, dan limpasan hujan tak lagi tertahan.
Akibatnya, hujan berintensitas tinggi dengan cepat berubah menjadi banjir bandang.
Banjir Besar dan Luka Sosial
Banjir akhir November 2025 meluas ke berbagai wilayah. Rumah warga terendam, sawah dan kebun rusak, akses transportasi terputus, dan aktivitas ekonomi lumpuh. Di sejumlah daerah, air datang begitu cepat hingga warga nyaris tak sempat menyelamatkan harta benda.
Trauma pun tertinggal. Anak-anak kehilangan rasa aman, orang tua dihantui kekhawatiran akan bencana susulan, sementara petani dan nelayan menanggung kerugian besar.
Di tengah penderitaan itu, kemarahan publik menguat. Warga mempertanyakan mengapa peringatan soal hutan tak ditindak tegas dan mengapa alat berat masih dibiarkan beroperasi hingga akhirnya bencana terjadi.
“Tsunami dari Daratan”
Istilah “tsunami kedua” bukan sekadar metafora. Bagi masyarakat Aceh yang pernah mengalami tsunami 2004, banjir besar ini membangkitkan trauma kolektif. Bedanya, jika tsunami datang dari laut, maka bencana kali ini lahir dari daratan — dari hutan yang rusak dan tata kelola lingkungan yang gagal.
Banjir ini menjadi pengingat pahit: kerusakan alam tidak pernah tanpa konsekuensi. Apa yang diambil dari hutan, pada akhirnya kembali dalam bentuk bencana.
Alarm Keras untuk Aceh
Banjir besar Aceh 2025 seharusnya menjadi alarm keras. Ultimatum yang diabaikan kini berubah menjadi kenyataan yang menyakitkan. Penanganan darurat memang penting, namun tanpa evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola hutan dan penegakan hukum lingkungan, bencana serupa hanya tinggal menunggu waktu.
Aceh kini berada di persimpangan: melindungi hutan sebagai warisan dan pelindung kehidupan, atau membiarkan eksploitasi berlanjut hingga bencana menjadi rutinitas tahunan. (**)
Editor : Ayah Mul












