FANEWS.ID – “Tahun berapa ini?” adalah kalimat pertama yang terlontar dari mulut Muhammad Hibatul Idris, saat berhasil dikeluarkan dari panti sosial tempat ia dikirim sebagai penghuni selama dua tahun satu bulan. Hibat, sapaan akrabnya, terlihat berusaha mengorek kenangan-kenangan kelam selama mendekam di panti sosial untuk penyandang disabilitas mental.
Pria berusia 24 tahun ini sama sekali tidak berbeda dengan pemuda atau mahasiswa pada umumnya. Rambutnya dipotong rapi, memakai kemeja hitam serta celana bahan hitam. Hibat berbicara dengan jelas dan fasih. Hanya beberapa kali ia berhenti bicara, seperti mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk mengartikulasikan ingatannya.
Hibat sendiri tidak mengerti kenapa dirinya ditempatkan di panti sosial penyandang disabilitas. Tidak ada persetujuan atau pemberitahuan kepadanya sama sekali.
“Orang-orang dari panti, lima orang datang ke rumah langsung bawa saya tanpa persetujuan saya sama sekali,” kata Hibat bercerita,.
Bahkan, Hibat tak membawa perbekalan atau barang-barang apa pun dari rumah. Satu-satunya yang ia bawa hanya pakaian yang melekat padanya hari itu, dan segudang kebingungan. Ia dibawa ke sebuah panti sosial yang berlokasi di Banten.
“Baru sampai depan gerbang (panti) aja udah bau kotoran manusia. Di dalam ada lorong panjang dengan ada sel-sel pintu besi digembok,” tutur Hibat, ketika menceritakan kesan pertamanya masuk panti sosial.
Selama tinggal di panti sosial, Hibat mengaku sangat jarang diperkenankan meninggalkan ruangan berbentuk sel tersebut. Tak jarang ia menyaksikan banyak rekan-rekannya jatuh sakit, tapi dibiarkan begitu saja.
Makanan sehari-hari di panti sosial tersebut, juga diceritakan Hibat sangat tidak layak. Bahan makanan banyak yang busuk, tapi tetap diberikan kepada penghuni panti.
“Makanan tidak layak, berasnya beras busuk yang masih dimasak, sayurnya tidak layak karena semuanya hampir busuk,” terang Hibat.
Untuk buang air besar atau kecil, penghuni panti hanya disediakan lubang yang terletak di pojok ruangan. Ruangan yang sama tempat mereka tinggal, makan, dan tidur bersama-sama.
“Tidak ada air bersih dan kotoran manusia berceceran,” ungkap Hibat.
Akibat kondisi demikian, Hibat pernah menderita penyakit kulit yang sampai menimbulkan luka-luka berdarah. Ketika itu, pihak panti sempat membawa dirinya ke puskesmas sekali.
“Pengobatan mental dan medis tidak ada. Hanya pengajian saja karena ngakunya (panti tersebut) pesantren,” tambah Hibat.
Seingat Hibat, panti tempatnya tinggal memiliki penghuni laki-laki sebanyak 30 orang dan 10 orang penghuni perempuan. Ada tiga penghuni panti yang dirantai di bagian depan. Sementara di bagian belakang panti, ada dua orang dirantai di ruangan isolasi.
“Ada (juga), ada yang meninggal. Lima kali, tidak dirawat didiamkan saja,” tegas Hibat.
Hibat mengaku bersyukur dapat keluar dari panti sosial tersebut setelah dua tahun satu bulan lamanya. Ia menyatakan banyak penghuni panti yang telah tinggal bertahun-tahun dan tidak jelas kapan bisa dikeluarkan. Ia berharap para penghuni panti bisa segera dibebaskan semua.(*)
sumber: tirto