Banda Aceh (fanews.id) — Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional Aceh membantah keras soal dugaan mengkecilkan nilai ganti rugi lahan tol Aceh yang dituduhkan seorang warga Gampong Seuot Tunong, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar.
Bantahan itu disampaikan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kakanwil) Provinsi Aceh, Agustyarsyah pada fanews.id di Kanwil BPN Aceh, Lamnyong, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, Selasa, 17 November 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kakanwil) Provinsi Aceh, Agustyarsyah
Agustyarsyah menjelaskan bahwa tuduhan yang dialamat pada Kanwil BPN Aceh, khususnya pada petugas ukur tidak benar. Karena, setiap petugas ukur berkerja dengan aturan dan SOP yang telah ditetapkan.
Permasalahnya adalah, banyak yang tidak paham secara detail tentang mekanisme pembabasan tanah yang dilakukan negara.
“Banyak yang komplain. Tapi, itu biasa. Yang jelas dalam melakukan pembebasan lahan tidak akan merugikan masyarakat. Dan, pembebasan lahan terus ada selama dunia belum kiamat. Itu dulu yang harus diketahui,” tegas Agustyarsyah didampingi jajaranya.
Dalam kasus pemilik tanah dan bangunan yang terkena pembebasan lahan Pembangunan Jalan Tol Ruas Banda Aceh- Sigli di Gampong Seuot Tunong, Azhar dan Helmi atau bidang tanah 706 dan 708 yang terjadi adalah luas yang dibayar oleh KJPP tidak sesuai dengan luas tanah yang tertera di sertifikat
Menurut Agus, karena petugas ukur hanya mengukur sesuai lokasi tol yang telah ditetapkan atau sesuai dengan Parlok. Tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Itu sebabnya, tanah yang dibayar akan berkurang dari jumlah yang tertera dalam sertifikat. Kecuali, Parlok yang ditetapkan memakan seluruh luas tanah.
“Yang dibayar yang kenak jalan total saja, tapi yang dibayar tidak sesaui tidak sesuai dengan yang diambil baru ada pelanggaran. Kalau yang dibayar sesuai dengan yang dibutuhkan itu memang sudah prosedur begitu,” jelanya.
Nah, jika pemilik tanah menginginkan seluruh tanahnya untuk diganti rugi, maka ada tahap selanjutnya. Yaitu tahap tanah sisa. Dimana, pemilik tanah mengajukan surat kepada BPN agar melakukan ganti rugi dengan berbagai alasan saat pengumuman tahap pertama dilakukan.
Salah satunya, bahwa tanah sisa tidak dapat dipergunakan kembali. Itupun belum tentu disetujui karena harus diputuskan dalam rapat.
“Baru kita bayar. Itupun harus melakui mekanisme, berupa digelarnya rapat yang melibatkan seluruh pihak, Kejaksaan, Kepolisian dan unsur lain. Bila, dalam rapat itu diputuskan untuk dibayar, maka kita akan bayar semua. Makanya, dalam proses pembebasan lahan, ada dua tahap, dan terima duitnya juga dua tahap,” ungkap Agus.
Itu sebabnya, dalam proses pembebasan lahan telah dilakukan berbagai macam sosialisasi yang diawali oleh Pemerintah Daerah (Pemda) berupa konsultasi publik selaku yang memerlukan tanah. Kemudian, musyawarah oleh panitia serta pengumuman.
Tambahnya, sebelum pengumuman dilakukan telah dibuka ruang untuk warga melakukan komplain pada BPN. Maka, distulah pihak BPN akan memberikan penjelasan dan membuktikan seluruh sanggahan warga dengan data yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan.
Nah, jika pengumuman telah dilakukan dan telah melampaui waktu 14 hari atau masa sanggahan. Maka, masih ada warga menolak, pihak BPN akan menitipkan uang ganti guri pada pengadilan.
“Sampai kiamat tidak hilang uanggnya. Kapan saja bisa diambil, cuman prosedur pengambilannya saja yang berbeda. Silahkan menggungat di pengadilan. Kalau menang maka negara akan membayar,” jelas Agus.
Terkait dengan tuduhan tidak meminta izin saat melakukan pengukuran, menurut Agus itu telah dilakukan petugas ukur, hanya saja tidak mungkin meminta permisi pada seluruh warga karena kerja mengukur itu harus cepat dan profosional sebagai ASN.
“Pada saat pengukuran sudah dihubungi Kepala desa. Tugas Kepala desa memberi tahu pada warga, bahwa akan datang petugas ukur untuk mengukurnya. Kalau tidak dilakukan, maka petugas jalan terus. Tidak mungkin satu persatu karena harus cepat. Tidak mungkin tidak minta izin,” ungkapnya.
Dia mengakui, dalam proses pembesan jalan tol Aceh ini, memang leader ada di BPN. Tapi, didalamnya ada dari berbagai unsur. Baik kepolisi, kejaksaan, Pemda Aceh Besar, hingga kepala desa, Pemerintah Aceh, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, dan Dinas PU dan dinas terkait lainnya.
“Ada yang kami tidak tahu, misal soal menghitung bangunan. Kami tidak mengerti. Itu tugas Dinas PU. Ada tanaman itu tugas DinasTanaman dan Pangan. Semua ada tugas sesuai dengan kemampuan dan teknis masing-masing,” ungkapnya.
Awalnya, seluruh proses pengukuran dilakukan oleh Satgas masing-masing. Ada Satgas pengukuran tanah, Satgas Pengukuran Tanaman, dan Satgas Pengukuran Bangunan dan Beton.
Dari hasil pengukuran tersebut, baru diberikan kepada Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk dihitung menggunakan rumus tersendiri sehingga keluarlah nilai yang harus dibayar.
“KJPP sendiri berada dibawah Kementrian Keuangan. Putugasnya juga tidak boleh dintervensi kerena mereka memang dididik untuk punya integritas tinggi,” ungkap putra Aceh ini.***[jol]***