FANEWS.ID – Sebanyak 40 calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinyatakan lulus tes tertulis yang dilakukan oleh panitia seleksi. Dari 40 nama tersebut, wajah-wajah petahana era Firli Bahuri terlihat masih mendominasi. Dua pimpinan KPK yang dinyatakan lulus, yakni Nurul Ghufron dan Johanis Tanak.
Selain itu, ada pula tiga pejabat setingkat deputi yang juga dinyatakan lulus tes tertulis. Mereka adalah Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring, Pahala Nainggolan; Deputi Koordinasi dan Supervisi, Didik Agung Widjanarko; serta Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, Wawan Wardiana.
“Yang pasti tidak akan ada perubahan di KPK kalau orang yang sama diloloskan ke depan,” ujar Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, kepada Tirto, menanggapi lulusnya nama-namanya petahana di KPK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Orin mengatakan bahwa walaupun jumlahnya hanya satu-dua orang, hal itu tetap saja akan menularkan dan mempengaruhi kinerja KPK ke depan. Oleh karenanya, dia berharap Pansel Capim KPK seharusnya bisa bersikap dan berpihak pada aspirasi publik, bukan justru mengakomodasi petahana KPK.
“Lagian buat apa memilih orang yang sudah pernah gagal, kecuali memang tidak menginginkan perubahan,” tandas Orin.
Peneliti SAKSI dari Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menambahkan bahwa dari daftar 40 nama yang lulus tes tertulis capim KPK tersebut, belum ada yang sesuai ekspektasi publik. Bahkan, adanya wajah-wajah lama itu bisa dibilang sangat mengecewakan.
“Pertama, masih ada nama mantan komisioner KPK di rezim Firli Bahuri, yakni Nurul Ghufron dan Johanis Tanak. keduanya gagal memimpin KPK dan tidak patut diberikan kesempatan kedua,” ujar Herdiansyah.
Menurut pria yang akrab disapa Castro itu, keduanya termasuk yang dulu cenderung “pasang badan” buat Firli saat ditetapkan tersangka dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan atau gratifikasi atau suap terkait penanganan permasalahan hukum di Kementan RI pada kurun 2020-2023.
“Bagi saya, semua pimpinan KPK di rezim Firli, ‘haram’ diberikan ruang untuk kembali memimpin KPK,” tegas Castro.
Hal senada juga diungkapkan peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola. Menurutnya, Nurul Ghufron dan Johanis Tanak seharusnya tak layak diloloskan sejak awal karena mereka gagal dalam memulihkan dan mengembalikan nama baik KPK.
“Ghufron dan Tanak memiliki rekam jejak dugaan pelanggaran kasus etik beberapa kali ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK” terang Alvin.
Tanak pernah diusut Dewas KPK dalam kasus chat percakapan dengan pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Muhammad Idris Froyoto Sihite. Percakapan itu diduga terjadi saat ada proses penyidikan perkara dugaan korupsi di ESDM.
Sementara itu, Ghufron diduga melakukan penyalahgunaan wewenang sebagai pimpinan KPK dalam membantu mutasi pegawai Kementerian Pertanian (Kementan).
Karpet Merah Bagi APH
Di luar nama-nama petahana yang dianggap bermasalah, terdapat tujuh jenderal Polri yang dinyatakan lulus tes tulis. Di antaranya Brigjen Rakhmad Setyadi, Irjen Djoko Poerwanto, Irjen Didik Agung Widjanarko, Irjen (Purn) Sang Made Mahendra Jaya, Komjen R.Z. Panca Putra S., Komjen Setyo Budiyanto, dan Komjen Agung Setya Imam Effendi.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, melihat jumlah kandidat berlatar belakang aparat penegak hukum memang masih cukup mendominasi. ICW sendiri mencatat setidaknya 40 persen kandidat (16 orang) yang lolos seleksi berasal dari lembaga penegak hukum, baik aktif maupun purna tugas.
Kurnia mengatakan bahwa hal tersebut menimbulkan kecurigaan masyarakat tentang independensi pansel dalam bekerja. Potensi keberpihakan yang berlebih pada aparat penegak hukum, kata Kurnia, disinyalir sedang terjadi pada proses seleksi kali ini.
“Sederhananya, pansel seperti meyakini sebuah ‘mitos’ yang sebenarnya keliru terkait adanya keharusan aparat penegak hukum mengisi struktur Komisioner KPK,” tutur Kurnia dalam keterangan resminya.
Kurnia juga menyebut terdapat beberapa poin penting yang berkenaan dengan hasil seleksi kali ini. Pertama, Pansel bisa dianggap melanggar peraturan perundang-undangan, yakni Pasal 28D Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, jika indikasi memberikan karpet merah terbukti.
“Adapun peraturan perundang-undangan itu telah memandatkan bahwa setiap orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum,” ujar Kurnia.
Keberadaan aparat penegak hukum pada level Komisioner KPK juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan akan mengganggu independensi lembaga.
“Analoginya sebagai berikut. Pasal 11 UU KPK mengamanatkan bahwa lembaga antirasuah tersebut diminta untuk memberantas korupsi di lembaga penegak hukum. Oleh karena itu, bagaimana penegakan hukum KPK akan objektif jika komisionernya berasal dari lembaga penegak hukum?” tutur Kurnia.
Sedangkan menyangkut independensi, menurut Kurnia, baik kandidat yang berasal dari Polri, Kejaksaan, atau Mahkamah Agung, berpotensi memiliki loyalitas ganda. Sebab, saat kelak ia menjabat sebagai Komisioner KPK, secara administratif kedinasan, mereka masih berada di bawah otoritas lembaganya terdahulu.
“Atas kondisi ini, masyarakat khawatir penanganan perkara di KPK tidak objektif. Lagi pun, jika dipandang calon-calon dari kalangan penegak hukum memiliki kompetensi yang mumpuni, mengapa mereka tidak diberdayakan di lembaga asalnya?” ujar Kurnia.
Ketua IM57+, M. Praswad Nugraha, ikut menyoroti soal banyaknya mantan aparat penegak hukum yang lolos tes tertulis calon pimpinan KPK. Padahal, sasaran KPK adalah katalisator dalam penegakan hukum lembaga lain.
“Menjadi pertanyaan, sejauh mana pansel melihat independensi penegakan hukum KPK ke depan apabila hampir seluruh pimpinan KPK adalah penegak hukum dari institusi lainnya,” ujar Praswad.
Dengan begini, kata dia, upaya pengembalian kepercayaan terhadap KPK boleh jadi tidak akan terjadi dalam seleksi saat ini.
“Artinya apabila gaya bekerja pansel masih seperti ini, maka akan semakin jauh impian pengembalian KPK ke jalur sesungguhnya,” ucap Praswad.(red/tirto)