Ketua DPRA, Dahlan Jamaluddin. | Foto: Humas DPRA
Banda Aceh (fanews.id) — Pimpinan rapat paripurna pelantikan Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, sisa masa jabatan 2017-2022, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Dahlan Jamaluddin, mengharapakan dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh yang akan berakhir pada tahun 2027 mendatang agar dapat diperpanjang.
Di hadapan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, Ketua DPRA menyebutkan dana Otsus sangatlah dibutuhkan Aceh terutama untuk pembangunan, pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan sosial dan kesehatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurutnya, dengan adanya dana Otsus secara jelas membuktikan kehadiran negara, yang dapat memenuhi hak dasar atau hak konstitutional warga negara. Khususnya dalam pemberdayaan ekonomi rakyat dan pengentasan kemiskinan.
“Maka, kami meminta kepada Pemerintah Aceh untuk dapat mengadvokasi agar keberadaan dana Otsus dapat terus berlangsung,” ungkap Dahlan, Kamis 5 November 2020.
Selain itu, ia juga meminta dukungan Pilkada Aceh untuk tetap dilaksanakan tahun 2022. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 65 UU No 11 tahun 2006 yang menyebutkan bahwa gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota dan aakil wali kota, dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap lima tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis bebas rahasia, serta dilaksanakan secara jujur dan adil.
“Melihat norma bunyi UUPA, secara jelas disebutkan bahwa pelaksanaan Pilkada Aceh dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Maka dipastikan pelaksanaannya diselenggarakan pada tahun 2022 mendatang,” ujar Dahlan.
Tidak hanya itu, Dahlan juga menyinggung terkait UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law Ciptaker yang baru saja disahkan Presiden. Ia berharap pembentukan peraturan pemerintah dan Peraturan Presiden (Perpres) tersebut dapat mempertimbangkan kekhususan dan keistimewaan yang dimiliki Aceh.
“Agar nantinya setelah peraturan pelaksanaan tersebut ditetapkan, tidak menimbulkan dis-harmoni dengan regulasi yang berlaku secara khusus di Provinsi Aceh,” tegas Dahlan.
Menurutnya, hal itu cukuplah beralasan sesuai dengan pasal 8 UUPA yang menegaskan bahwa, pertama, rencana persetujuan international yang berkaitan langsung dengan Pemerintah Aceh yang dibuat oleh pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.
Kedua, rencana pembentukan UU oleh DPRA yang berkaitan dengan Pemerintah Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Serta ketiga, kebijakan administrasi yang berkaitan langsung dengan Pemerintah Aceh yang dibuat oleh pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertombangan DPRA.
Pada kesempatan itu, Dahlan juga menyebutkan meski saat ini Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah berumur 14 tahun. Namun, implementasi dari UU tersebut belum sepenuhnya berjalan secara maksimal sebagaimana yang diharapkan.
“Masih banyak dan masih ada tumpang tindihnya aturan dalam UUPA dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku secara nasional,” ungkap Dahlan.
Berangkat dari hal tersebut, ia sangat mengharapkan perhatian khusus dari Pemerintah Pusat untuk mengikutsertakan pihaknya dalam proses perumusan. Kemudian, mendukung penuh pembangunan di Aceh.
“Harapan kami, pemerintah dapat meningkatkan proyek-proyek strategis nasional di Aceh yang nantinya akan sangat berguna untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Aceh,” imbuhnya.***